AGAR SEKOLAH TIDAK KOSONG DARI ASN

(Oleh: Asyuni Keledar, S.Pd, Gr)*

Tepat pada hari Jum’at tanggal 01 Maret 2024 lalu, terjadi diskusi ringan di grup WhatsApp kepala sekolah. Diskusi bermula dari kiriman sebuah foto dengan narasi singkat salah satu SD di Kabupaten Fakfak, guru ASN dan PPPK tidak berada di tempat (tugas.pen). Tanggapan pun bermunculan setelah adanya kiriman foto tersebut. Ada yang meminta solusi terbaiknya dan ada juga yang memberikan solusi dengan cara ditegakkannya aturan. Di sela-sela komentar yang bertujuan memberikan solusi atau tanggapan atas masalah tersebut, ada satu komentar yang membuat penulis sangat setuju untuk dilakukan, yakni panggil ASN yang bersangkutan untuk dimintai keterangan. Penulis sendiri ikut memberikan komentar dengan menyarankan agar dibentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) di setiap distrik. Dan untuk ASN yang bersangkutan, agar dipanggil ke dinas pendidikan untuk dimintai keterangan. Alhamdulillah, masukan untuk memanggil ASN bersangkutan telah ditindaklanjuti dengan terbitnya Surat Panggilan I bernomor: 800.1.6.2/282/DIKPORA/2024, bertanggal 13 Maret 2024, yang ditandatangani langsung oleh kepala dinas. Ini adalah sebuah langkah konkrit dan bijak untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan di atas tanah Mbaham ini.

Kejadian di atas mengetuk hati penulis untuk membagikan pengalaman yang mungkin kurang berharga bagi yang lebih berpengalaman. Namun penulis merasa hal ini mungkin lebih berharga bagi yang berniat meningkatkan kariernya sebagai kepala sekolah atau bagi yang baru menjalankan amanah menjadi top leader (kepala sekolah) di satuan pendidikan yang jauh dari perkotaan. Agar tidak terjadi kekosongan guru di sekolah karena kondisi tertentu. Terdapat fakta atau kejadian di lapangan yang turut menjadi alsan mendasar penulis,untuk membagi pengalaman ini, paling tidak ada tiga hal berikut.

Pertama, perjalanan ke tempat tugas yang jauh dari perkotaan, sebagian di antaranya mungkin sangat riskan.. Beberapa ASN guru juga bertugas di daerah kepulauan dengan perjalanan hanya mengandalkan kendaraan mesin tempel yang kadang tidak seimbang dengan gelombang, angin, hujan yang dilalui. Biaya perjalanannya pun hampir setengah dari gaji pokok untuk golongan IIIa. Jika keadaan laut tidak menentu atau terjadi rintangan dalam perjalanan, hal ini mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak anak untuk belajar dengan baik, satu atau dua hari berikutnya.

Kedua, tuntutan kewajiban untuk memenuhi hak-hak peserta didik. Guru adalah tenaga profesional yang memang dipersiapkan untuk mendidik generasi muda bangsa ini dan difasilitasi oleh pemerintah untuk melakukan pekerjaan tersebut. Oleh karena itu, antara hak dan kewajiban wajib hukumnya berjalan seimbang. Jika berpendapat lebih ekstrim lagi, maka hak adalah konsekuensi dari melaksanakan sebuah kewajiban. Dengan demikian hak tidak mesti ada mendahului kewajiban. Namun kenyataannya pemerintah sangat bijaksana, memberikan hak seorang ASN (gaji) mendahului kewajibannya, agar seorang ASN menggunakannya untuk melaksanakan kewajibannya mendidik generasi muda bangsa (peserta didik). Kebijaksanaan yang telah diberikan pemerintah kepada kita (guru) sudah seyogyanya disyukuri dan dihargai secara konkrit melalui kesadaran penuh melaksanakan kewajiban untuk mengajar, mendidik dan melatih peserta didik.

Ketiga, hak untuk meningkatkan karier dan pemenuhan kebutuhan hidup di tempat yang jauh dari kota. Ada orang yang sempit akal mengatakan bahwa bertugas di kampung-kampung itu enak karena tidak banyak biaya. Ikan banyak, sayur, keladi, singkong, dll banyak. Catatan ini perlu penulis ulang di sini sebab tulisan penulis yang pernah membahas topik tersebut di alamat web: asyuniramzan.com sudah auto-delete  oleh sistem hosting karena terlambat renew. Sahabat seprofesi yang penulis banggakan. Jika ada yang berpendapat bahwa bertugas di daerah terpencil, kampong-kampung itu terasa enak karena semuanya terpenuhi, maka pendapat seperti itu jelas sangat keliru. Ada waktu di mana para guru makan nasi tanpa ikan. Ada waktu di mana para guru makan nasi dan ikan garam yang tidak baik bagi kesehatan jika dimakan terus-menerus. Pendapat seperti itu biasanya muncul dari mereka-mereka yang hanya singgah satu atau dua hari sewaktu mereka melakukan perjalanan dina dan situasi perjalanan normal. Mereka tidak menetap lama di kampong. Mereka tidak melakukan perjalanan saat lautan sedang bergelombang. Jika berhadapan dengan angina, hujan dan gelombang atau ombak pun bukan itu yang dibicarakan, didiskusikan atau direnungkan, bahwa semua situasi tidak enak itu dialami berkali-kali oleh para ASN guru yang bertugas dari perkotaan. Parahnya lagi, pengalaman dua hari di kampong, mereka menggeneralisir bahwa semua hari yang dilalui para ASN guru di kampong-kampung dalam suasana bahagia. Aneh bukan?

Jika bertugas di kampung itu enak, tidak ada guru yang menangis saat SK-nya terbit ia bertugas di kampong. Kenyataannya penulis mendapatkan ASN yang demikian. Jika bertugas di kampong itu enak, tidak ada yang menangis di kampong saat menghadapi kondisi dimana terjadi keadaan cuaca ekstrim dan dalam waktu yang bersamaan ada masalah keluarga di kota. Dalam waktu yang bersamaan ada kebutuhan untuk meningkatkan kariernya. Dalam waktu yang bersamaan orang-orang tidak bias melaut dan persediaan makanan menipis. Ini biasanya terjadi di daerah kepulauan. Jika bertugas di kampong itu enak, mengapa para guru tidak berlomba-lomba untuk meminta bertugas di kampong? Bukankah fitrah manusia itu membutuhkan hal yang menyenangkan? Namun mengapa mayoritas guru lebih memilih bertugas di kota daripada di kampong. Bahkan ada kasus di mana seorang ASN yang baru saja diangkat, hanya melaksanakan tugas beberapa bulan di kampong kemudian mutasi ke kota.  Jika enak, mengapa hal ini terjadi? Ada yang mengatakan, bukankah PPPK yang bertugas di kampong-kampung itu adalah pilihan mereka sendiri saat mendaftar menjadi ASN? Penulis sangat setuju dan faktanya memang demikian, itu pilihan mereka. Tanpa bermaksud membela mereka secara berlebihan, penulis berpendapat bahwa mereka (PPPK) berani mengambil resiko bertugas di kampong-kampung di saat banyak orang memilih menghindari tugas di kampong. Karena itu, keberadaan mereka wajib dihargai. Keuletan dan komitmen mereka dalam melaksanakan tugas harus diapresiasi. Kekeliruan atau kesalahan mereka mesti diatasi dengan cara-cara bijak nan adil tanpa membedakan guru yang satu dengan guru yang lainnya. Mungkin ada juga yang mengatakan bahwa masih ada banyak yang antre untuk jadi guru. Point ini, penulis siap lahir batin untuk membantahnya jika ada yang mengajukan argumen seperti ini.

Ketiga hal inilah yang biasanya menimpa semua ASN di tempat terpencil tanpa kecuali. Yang dipublikasikan di WAG kepala sekolah itu hanya satu kasus, yang jika kita rajin menelusuri, di sekolah lainnya bisa saja mengalami hal yang sama namun tidak terpantau atau segera teratasi. Apalagi momennya masih dalam jadwal E-Kinerja atau PMM. Berangkat dari pengalaman yang menimpa ASN guru di kampong-kampung tersebut maka untuk mengatasi (lebih tepatnya mengakali) persoalan yang telah disebutkan, kuncinya ada pada manajemen kepala sekolah.

Apa yang harus dilakukan?

Pertama, jika kebutuhan bepergian ke kota kabupaten dengan tujuan memenuhi persediaan kebutuhan sehari-hari atau rindu keluarga, maka bisa diatur secara bergiliran, sehingga tetap menjamin adanya ASN guru yang melakukan aktivitas belajar mengajar di sekolah. Hal ini (sepengetahuan penulis) sedang diterapkan oleh sahabat seprofesi yang ada di SD Negeri Kiaba, Distrik Karas. Penulis pun mengadopsi hal ini.

Kedua, jika kebutuhan bepergian ke kota berkaitan dengan administrasi para guru secara keseluruhan, dan hal itu secara regulasi bisa diselesaikan oleh kepala sekolah, maka sebaiknya kepala sekolah saja yang menyelesaikannya. Dengan demikian tidak ada perjalanan guru dari sekolah yang akhirnya berakibat buruk terhadap pembelajaran di sekolah hanya untuk pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh satu orang yakni kepala sekolah. Jika pekerjaan itu secara regulasi tidak boleh diwakilkan maka point pertama di atas tetap jadi acuan.

Ketiga, sebagai tambahan berupa saran terkait dengan permintaan data/administrasi yang dibutuhkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten, yang bisa dipenuhi dengan memanfaatkan teknologi internet, sebaiknya tidak perlu meminta para guru atau kepala sekolah untuk datang ke kantor menyerahkannya secara fisik. Melainkan cukup dengan kiriman data-scan dari alamat resmi sekolah kecuali jika layanan internet tidak tersedia atau terganggu.

Demikiana tulisan singkat yang penulis sajikan berdasarkan pengalaman selama kurang lebih 12 tahun di daerah sangat terpencil (kepulauan). Semoga bermanfaat bagi yang ingin mengambil manfaat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *