MENULIS ITU MUDAH, YUK MENULIS!

Penulis: Asyuni Keledar, S.Pd, Gr*

Ada beberapa sahabat seprofesi yang menjawab “Saya tidak bisa menulis” saat penulis mengajak mereka untuk menuangkan ide atau pkiran mereka dalam bentuk tulisan agar bisa dikonsumsi oleh orang lain. Mengapa tidak bisa? Sebenarnya bukannya “tidak bisa” tetapi mereka hanya tidak mau. Ya, tidak mau mencoba sesuatu yang baru. Bukankah sebelum jadi Guru, kita juga tidak bisa mengajar? Lalu apakah sekarang kita masih belum bisa mengajar?

Menulis itu mudah!. Mudah karena berangkat dari hal-hal yang kita alami atau informasi yang kita dapatkan dari luar, atau berangkat dari pemikiran orang lain yang ingin kita tanggapi. Di sini penulis tidak bermaksud untuk menguraikan langkah-langkah praktis dalam menulis, namun memberikan sebuah contoh tulisan yang bermula dari diskusi-diskusi di WAG PGRI Fakfak tentang pernyataan penulis “Anak-Anak Kelas 1, 2 itu tugasnya hanya bermain. Pulang sekolah, lempar tas dan bermain” Kemudian pernyataan tersebut dibantah oleh beberapa sahabat seprofesi dengan mengatakan bahwa “Tidak begitulah Pak, anak-anak juga perlu diajari adab”. Yang lain mengatakan bahwa “Jika anak-anak belum bisa membaca atau mengenal huruf, kami guru-guru kelas 1 dan 2 juga yang disalahkan bahkan mendapat respon negatif oleh guru-guru kelas atas. Guru kelas 1 dan 2 kerja apa saja?” Sahabat seprofesi tentu berpikir isi dari tulisan ini kontradiktif dengan judul yang dipilih, karena memang tujuan tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan lebih lanjut tentang apa yang didiskusikan dalam WAG PGRI tersebut sekaligus memberikan contoh kalau menulis itu berawal dari apa yang kita alami sehari-hari salah satunya adalah diskusi dengan sahabat-sahabat seprofesi di WAG PGRI sehingga menghasilkan tulisan ini.

Pernyataan penulis di atas bahwa anak-anak kelas 1 dan 2 itu tugasnya bermain, adalah mengutip dari seorang pembicara yang penulis tidak mengetahui pasti siapa namanya. Beliau diundang sebagai pembicara pada sebuah acara yang mungkin bertemakan pendidikan. Beliau memang serius mengatakan itu karena dengan bermain anak-anak bisa berimajinasi bahkan dengan menggambar gunung yang berwarna emas pun tidak masalah.

Sebagai Guru, penulis sangat setuju dengan pernyataan beliau itu. Sebagian kita meresponnya secara sempit karena meyakini bahwa bermain itu merupakan sesuatu yang tidak memberikan sumbangan apa-apa terhadap kognisi anak. Pemahaman seperti ini dalam prakteknya bisa mendikotomi bermain dan belajar, padahal selama proses belajar mengajar, antara bermain dan belajar bisa dikonvergensikan, belajar adalah bermain dan bermain adalah belajar. Untuk menghadirkan pemahaman yang komprehensif tentang bermain dan belajar, maka di bawah ini akan diuraikan tentang pengertian bermain dan belajar dari beberapa sumber dan pakar pendidikan.

Pengertian bermain

  1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI versi daring, bermain adalah melakukan sesuatu untuk bersenang-senang (Hasil Pencarian – KBBI VI Daring (kemdikbud.go.id)).
  2. Wikipedia, bermain adalah aktivitas dan kualitas pikiran dalam terlibat dengan pandangan dunia seseorang. Bermain mengacu pada berbagai aktivitas sukarela yang termotivasi secara intrinsik yang biasanya diasosiasikan dengan kesenangan dan keseruan. (Bermain – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).
  3. Menurut Brooks, J.B. dan D.M. Elliot, bermain merupakan setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir, dilakukan secara sukarela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban. (Bermain Pada Anak Usia Dini: Definisi, Jenis dan Manfaatnya – HaloEdukasi.com)
  4. Menurut Piaget, bermain adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan memberi efek kesenangan bagi individu. Menurutnya kegiatan bermain sangat membantu anak mengenali dirinya, lingkungannya, dan bagaimana cara bersosialisasi dengan lingkungannya.(Ibid).

Jika dicermati semua pengertian di atas, kita akan menuju ke sebuah kata kunci bahwa bermain adalah bersenang-senang. Dengan demikian kita bisa mengerti bahwa segala aktifitas atau kegiatan yang menyenangkan bagi para peserta didik dapat dikategorikan sebagai bermain.

Pengertian belajar

  1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI versi daring, belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. (Hasil Pencarian – KBBI VI Daring (kemdikbud.go.id))
  2. Djamarah dan Zain, belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. (26 Pengertian Belajar Menurut Para Ahli Dan Daftar Pustakanya (gurupendidikan.co.id))
  3. Hamalik, belajar adalah bukan suatu tujuan tetapi merupakan proses untuk mencapai tujuan. (ibid)
  4. Hamzah, belajar merupakan suatu proses yang sistematis yang tiap komponennya sangat menentukan keberhasilan anak didik. (ibid).

Dari pengertian-pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa belajar adalah sebuah proses untuk mencapai sesuatu berupa ilmu atau perubahan pada tingkah laku. Sehingga belajar hanya dapat dikatakan belajar jika dalam prosesnya bisa mengantarkan para peserta didik pada tujuannya, yakni ada ilmu yang diperoleh (kognitif/ psikomotorik) atau ada perubahan pada tingkah laku (afektif).

Tidak Boleh Membuat Dikotomi antara Belajar dan Bermain Selama Proses Belajar Mengajar

Respon sahabat seprofesi atas pernyataan penulis di atas tentunya berangkat dari sebuah pandangan yang memisahkan antara bermain dan belajar. Bermain adalah bermain, yang sangat berbeda dengan belajar. Dengan demikian maka anak-anak kelas 1 dan 2 itu tidak boleh bermain saja karena jika mereka terlambat mengenal huruf atau membaca, mereka sebagai guru kelas 1 dan 2 akan mendapatkan respon negative dari guru-guru kelas di atasnya. Jika cara pandangnya dikotomis, maka simpulan yang dilakukan oleh sahabat seprofesi ini seratus persen benar. Akan tetapi jika kita mencermati kembali hakikat bermain dan belajar di atas, lalu kita ajukan premis-premis seperti di bawah ini maka akan menghasilkan sebuah konklusi yang mematahkan dikotomi bermain dan belajar.

  • Bermain adalah sesuatu yang menyenangkan.
  • Belajar adalah proses mendapatkan ilmu atau perubahan tingkah laku.

Pertanyaannya adalah secara definisi, bisakah membuat proses belajar menjadi kegiatan yang menyenangkan (bermain) bagi anak-anak? Sebaliknya, bisakah menyisipkan muatan-muatan edukatif dalam setiap kegiatan bermain anak-anak? Jawabannya adalah bisa!. Kreatifitas gurulah yang menjadi penentu ke arah mana sebuah kegiatan bermain menjadi sebuah proses edukasi dan sebaliknya.

Di tulisan lain (di sini), penulis pernah menguraikan tentang beberapa fakta kecenderungan anak-anak generasi Z yang sangat akrab dengan permainan digital. Dan salah satu permasalahan klasik dunia pendidikan di era modern (khususnya di wilayah 3T) adalah membaca. Sehingga permainan digital (game edukatif) adalah solusi yang tepat untuk mengatasi semua permasalahan membaca. Pernyataan ini sekaligus membatalkan argumentasi sahabat seprofesi di atas yang merasa khawatir guru kelas 1 dan 2 akan mendapat respon negative dari guru kelasa di atasnya. Sebab dengan bermain, anak-anak pun bisa mengenal huruf atau sebaliknya anak-anak bisa mengenal huruf dengan cara bermain.

Apa Langkah Praktisnya?

Setiap sahabat seprofesi tentu menerapkan metode atau pendekatan yang berbeda dalam kegiatan belajar mengajar di kelas 1 dan 2. Oleh karena tulisan ini mengangkat permasalahan bermain yang didiskusikan di WAG PGRI, maka di sini penulis mengemukakan langkah-langkah praktis (ringkasan) mengenal huruf yang bisa diterapkan pada anak-anak kelas 1 dan 2. Sebenarnya apa yang penulis sampaikan di sini adalah skenario belajar (bermain) yang penulis terapkan untuk anak usia 4 tahun 3 bulan bernama Ananda Ramzan, dengan tingkat keberhasilan mencapai 85% dalam waktu tiga bulan (sudah termasuk membaca kata sederhana yang terdiri dari empat huruf). Ini adalah hasil analisis daya serap yang dibuat untuk mengetahui huruf yang belum dan sudah dikenal.

Yang warna hijau adalah huruf yang sudah dikenal, yang warna merah belum dikenal dan yang berwarna kuning hanya menyebut “yoyo” yang sebenarnya adalah huruf “Y”(ye). Analisis di atas dilakukan pada tanggal 16 April 2024. (Sahabat seprofesi bisa milihat videonya di sini)((35) BERMAIN=BELAJAR=BERMAIN – YouTube)

Berikut adalah garis-garis besar langkah-langkah praktis yang dilakukan guru.

  1. Anak dirangsang untuk membangkitkan gairah belajarnya;
  2. Memutar video pendek tentang pengenalan huruf;
  3. Memperkenalkan aplikasi pengenalan huruf kepada peserta didik;
    • Aplikasi yang kami namakan “KARA-apk” ini memang sengaja dirangcang untuk membantu guru kelas 1 dalam memperkenalkan huruf kepada peserta didik. Semua yang terlibat di dalam aplikasi tersebut adalah para PTK dari SD Negeri Antalisa. Mengapa harus tim dari sekolah sendiri? Hal ini dimaksudkan untuk menarik perhatian anak-anak dan juga para orang tua peserta didik, bahwa yang ada di dalam aplikasi itu adalah orang-orang yang memang mereka sudah kenal akrab. Hanya butuh beberapa detik, aplikasi ini sudah di-instal ke dalam android dan bisa dijalankan secara offline. Dan hanya butuh beberapa menit untuk melakukan tutorial singkat kepada anak-anak tentang cara pengoperasiannya. Dan setelah itu anak-anak bisa belajar sendiri melalui android di manapun mereka berada.

Di dalam aplikasi ini pun dilengkapi dengan reword berupa sertifikat (versi online dan offline) dan video-video super hero jika berhasil menuntaskan belajar mereka (versi online dan offline). Sedangkan untuk mencetak nilai setelah belajar, hanya tersedia dalam versi online (android). Dan penggunaan aplikasi ini secara offline hanya untuk peserta didik SD Negeri Antalisa.

Sebagai simpulan, kreatifitas guru menjadi kunci utama untuk menciptakan suasana bermain anak menjadi belajar dan sebaliknya. Singkatnya, bermain adalah belajar dan belajar adalah bermain. Semoga tulisan ini menginspirasi sahabat seprofesi untuk terus berinovasi dalam bidang pendidikan.

*Penulis adalah Guru dan kepala sekolah pada SD Negeri Antalisa sejak tahun 2011.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *